Apa menariknya membahas tentang kematian. …..
Kalau saja aku tidak pernah bermimpi kedatangan malaikat pencabut nyawa, tentu tidak akan seekstrim ini membicarakan ajal. Terkadang aku memang terbiasa berimajinasi, tapi tidak untuk kali ini.
Aku lupa tepatnya kapan, yang kusadari adalah aku baru saja menduduki bangku kelas dua SMP. Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba kembali teringat mimpi malam itu, beberapa tahun silam. Begitu nyata, menarikku hanyut didalamnya, tak pernah lekang dimakan waktu bahkan sebaliknya, aku semakin ingin tau apa maksud dari setiap bayangan. Berbeda dengan mimpi-mimpi sebelumnya, lenyap seketika saat sang tuan terbangun dari tidur.
“Memangnya kau tau Malaikat Isroil itu seperti siapa?”, aku terdiam mendengar komentar Dimas ketika kuceritakan tentang mimpiku. Benar juga, bagaimana aku bisa memastikannya, melihat wajahnyapun tidak.
Seperti ada kekuatan mendekap hati, dan perasaan ajaib inilah yang membuatku sangat yakin sosok itu adalah Malaikat pencabut nyawa utusanNya. Kala itu aku berlari tak tentu arah, aku berloncatan kesana kemari, mencoba bersembunyi dari kejaran Isroil, hingga akhirnya aku menemukan sebuah bangunan tinggi mirip puri seorang putri raja, aku menaikinya dengan susah payah. Melihatku terengah-engah mempertahankan hidup, Malaikat itu membalikkan badan, berlalu meninggalkanku.
*
Hari, bulan dan tahun berselang. Kadang mereka merangkak, berjalan terseok-seok, seakan mengejek setiap manusia yang berharap waktu lekas berlalu. Tak jarang pula mereka berlaku layaknya seorang sprinter, seolah mengutuk siapapun yang terlambat menyadari dosa-dosanya. Meninggi dan menggemuk.
*
Siapa yang tidak bangga atas diriku. Orang tua, saudara, sanak keluarga bahkan tetangga jauh pun turut menyanjungku, semua kerabat beranak gadis berlomba-lomba menjadikanku menantu, ya….setidaknya untuk saat ini, sebelum mereka tau siapa aku sebenarnya, sebelum mereka menyadari segala kemunafikanku.
Tiada kesempatan kulewati tanpa prestasi. Saat sekolah lanjutan, aku berhasil mengangkat citra sekolah yang tidak pernah merasakan gelar akademik apapun menjadi terpaksa diperhitungkan. Pun ketika menengah atas, kusulap sekolah itu menjadi terkenal seantero negeri. Semuanya berkat otak cerdasku. Aku bukan hanya jenius di pelajaran, namun juga kreatif dan inisiatif dalam berbagai kegiatan maupun lomba. Dan…..aku bangga dengan semua yang kumiliki.
*
Kini, aku sudah menjadi mahasiswa. Tentu saja di perguruan tinggi ternama.
Metamorfosisku dimulai pada masa ini. Sejenak aku lupa dengan mimpi kematianku.
Senja belumlah sempurna melipat malam, niat hati menyelesaikan tugas kuliah tertunda karena pikiran tak bisa diajak kompromi. Kuputuskan untuk keluar sebentar, sekadar menyegarkan otak. Disebuah pusat perbelanjaan, langkahku terhenti saat menangkap sesosok perempuan yang tidak asing di penglihatanku. Lutmini, seorang kawan SMA, bercengkerama dengan seorang lelaki paruh baya, berpenampilan sangatlah rapi, jelas memperihatkan kedudukan berkelasnya. Kupandangi mereka dari kejauhan. Setelah beberapa menit kemudian, tanpa sengaja Lutmini melihatku dan kami bertatapan, berinteraksi dari mata ke mata. Aku menangkap pesan dari binarnya.
Benar saja, tak butuh waktu lama. Lutmini melepaskan lelaki yang pantas menjadi orangtuanya itu pergi. Mereka berpisah dengan sangat vulgar. Seolah hanya ada mereka di tempat ini. Aku terpejam menghindari tontonan itu, ketika terbuka, aku kaget luar biasa, betapa tidak, kudapati wajah Lutmini didepan mataku persis, sangat dekat, tak sampai sepuluh sentimeter. Lutmini terkekeh melihat ekspresiku. Aku tersipu malu-malu.
Lutmini banyak berubah, dari gadis sederhana nan lugu menjadi wanita metropolitan. Aku saja sampai pangling melihatnya, andai Lutmini tidak menunjukkan bekas jahitan di pelipis kiri yang berhasil ditutupinya dengan trik model rambut masa kini. Lutmini bercerita banyak hal, termasuk pekerjaan mesumnya. Tuntutan hidup mampu merubah apapun di dunia ini. Lutmini juga banyak bertanya tentang kehidupanku, kuceritakan saja semuanya, tanpa terkecuali. Dalam keadaan seperti itu, Lutmini tidak tampak seperti wanita nakal. Sejujurnya, aku merasa kasihan melihatnya. Kami bertukar nomer ponsel dan berpisah di pelataran parkir.
*
Tergesa-gesa aku meninggalkan laboratorium tatkala Lutmini menelpon meminta bantuanku.
Petang mulai mengintip ketika aku tiba di sebuah alamat yang ditunjukkan Lutmini. Tempat haram berkedok perkampungan religi. Di satu kamar, kudapati Lutmini sudah tak berdaya, sekujur wajah dan tubuhnya lebam, aku tidak menginterogasinya dengan banyak pertanyaan, karena kutau pasti, dia baru saja mengalami kekerasan fisik. Mungkin saja dari salah satu pelanggannya. Aku hanya menawarinya untuk berobat ke rumah sakit. Namun Lutmini menolak, ia hanya minta diantar ke rumahnya.
Kupastikan Lutmini sudah bisa beristirahat ketika aku berpamitan pulang. Dan tidak kuduga sebelumnya, Lutmini melarangku pergi, dia memintaku untuk tetap tinggal dirumahnya. Selamanya. Aku bingung menanggapi keinginannya. Entah kenapa, demi melihat keadaan dan keprihatinannya, kepalaku serasa bergerak sendiri. Ya, aku mengangguk.
Dan disinilah awal kehancuranku dimulai…
Bagiku, Lutmini tak ubahnya ranjau yang siap meledak kapan saja. Ternyata otak encerku tak sanggup menaklukkan bahaya laten yang senantiasa digempurkan Lutmini. Hingga suatu hari, di pagi yang dingin, tembok pertahananku runtuh. Aku mulai mencicipi dosa-dosa itu. Aku berubah menjadi seorang pecundang dan pecandu. Setan telah menguasai jasad ruhku. Setiap ada kemauan dan kesempatan.
*
Aku tetap dibanggakan. Hingga menyandang gelar sarjana. Kupikir inilah masa-masa terakhirku menjadi mentari. Ternyata Tuhan masih memberiku nikmat berlipat. Lagi.
Aku mendapat beasiswa melanjutkan strata dua dari salah satu negara besar di Eropa, dengan mimpi kematian yang masih kusimpan.
*
Diujung pintu kamar, Lutmini menyambutku dengan raut muka penuh misteri. Kuacuhkan saja reaksi itu, karena aku ingin menyampaikan satu kabar bahagia, aku akan ke Eropa. Seperti Ikal dalam laskar pelangi.
Hampir bersamaan aku dan Lutmini membuka obrolan hendak bercerita. Menyaksikan lekuk kerutan didahinya yang tak kunjung hilang, aku mempersilahkannya lebih dulu.
“Aku hamil Den”, Lutmini berbicara singkat, namun cukup membuat badanku limbung, seperti ada benda langit yang tiba-tiba menghantam, disertai kabut tebal yang mengoyak-ngoyak khayalan tentang eropa. Aku tidak bergeming, tak ubahnya batu maling kundang hasil kutukan ibunya. Bagaimana bisa, bukankah seorang wanita seperti Lutmini pastilah sudah paham segala macam cara untuk menangkalnya.
“Aku kecolongan Den”, hanya itu kalimat yang kudengar dari mulut Lutmini
Sulit dibayangkan bagaimana perasaanku saat itu, bayang-bayang senyuman bahagia dari sudut bibir orang-orang yang membanggakan prestasiku.
*
Semakin diingkari, semakin dimengerti. Bahwa jiwaku telah mati, jatuh, lenyap bersama amarah debu, bersama gemuruh angin, juga bersama murka ribuan bunga kamboja. Aku tertunduk melangkahkan kaki, melintasi jalan panjang tak bertepi, apakah mengarah ke surga atau malah sebaliknya, dalam persimpangan aku disambut, bukan oleh malaikat atau para bidadari penghuni surga, melainkan sederatan makhluk aneh bergigi sajam dan bermata bara.
Aku melangkah menuruni tangga kampus, nafasku semakin memburu, darahku seakan mengalir lebih cepat. Sudah beberapa kali kepalaku seperti ini, mencuat-cuat tak karuan, menyebarkan racun kelumpuhan ke organ tubuh lain. Mr. Frank, paramedis medical center kampus merujukku ke St. Anna Maria hospital.
“What's wrong with my head doctor?”, Mrs. Chaterine memandangku sejenak, lalu kembali memeriksa hasil roentgen dengan seksama
“Have doctor frank not say anything about your illness?”, pertanyaan Mrs. Chaterine membuat bulu kudukku berdiri, tidak mungkin tidak ada masalah kalau nada bicaranya seperti itu, aku menggeleng pelan
“You have a disease of brain cancer, stadium four”. Kupegang kepalaku kencang. Otak cerdasku, masih layakkah kau kubanggakan?.
*
Aku terjebak di sudut dunia, di labirin berkabut, sekilas bak diserang segerombolan mahluk berjubah hitam yang dibuang dari langit. Aku kembali teringat pada Lutmini. Kecemasan itu kembali menghinggapi. Tentang betapa besarnya kesalahan yang telah kuperbuat.
“Aku tidak bisa melakukannya Min, maaf”, Lutmini terisak mendengar jawabanku
”Tega sekali kamu Den...”, amarahku kembali menyala, kucengkeram lengan Lutmini
”Ingat ya Mini, ini bukan hanya salahku, tapi kamu juga. Aku tidak mungkin mengorbankan masa depanku demi janin yang tidak jelas siapa bapaknya”
”Ini adalah anakmu Den”
”Sudahlah, aku tidak mau berdebat lagi, kalau kamu mau aku bertanggung jawab, ok....aku antar ke bidan untuk menggugurkannya, atau kamu mau ke dukun beranak saja, sebutkan jumlah yang kamu butuhkan, akan aku berikan”, Lutmini menatapku nanar, tersirat segunung kebencian dimatanya. Aku tidak perduli.
Yang kudengar beberapa bulan kemudian, Lutmini meninggal ketika melahirkan bayinya. Ya….Lutmini mempertahankan janin, yang katanya benih dariku. Dari cerita orangtuaku, keluarga Lutmini sangat terpukul dengan kejadian itu. Bukan saja karena kehilangan putrinya, tapi juga aib yang telah menjadi perbincangan para tetangga.
Aku menangis tersedu,....bagaimana harus kukatakan kalau akulah, putra kebanggaan mereka, yang telah menghamili Lutmini, dan aku jugalah yang secara tidak langsung telah membunuhnya, juga anaknya. Bukan orang lain.
*
Seorang perawat mendorong kursi roda yang kududuki mendekati balkon rumah sakit. Rutinitas setiap pagi setelah aku sarapan. Menikmati sejuknya aroma embun dan nyanyian burung gereja yang sesekali hinggap didepanku. Kadang mereka menatapku sebentar, kemudian kembali terbang menyapa dan berkumpul dengan rekan lainnya. Aku tersenyum getir, membayangkan mungkin saja diantara obrolan mereka ada sepercik kisah tentangku, tentang keibaan mereka padaku.
Masih terngiang jelas petuah dokter Hafeez, ahli syaraf keturunan Indonesia sekaligus pendamping spiritualku selama berada di rumah sakit.
“Percayalah mas Deni, Allah sangat menyayangi setiap hambaNya, sebesar apapun dosa yang telah dibuatnya, asalkan insan tersebut bersungguh-sungguh melakukan taubat”, aku merasa benar-benar bodoh, bagaimana bisa aku tergelincir sejauh ini padahal peringatan itu sudah menyapaku bertahun-tahun yang lalu. Mungkinkah penyakit ini adalah hukuman dari dosa-dosaku dan akibat karena telah mengabaikan mimpi kematian itu?
Kuulangi berkali-kali membaca surat yang kubuat untuk dokter Hafeez. Mudah-mudahan dokter muda itu mengerti kenapa aku mengarang cerita ini. Aku ingin dia berbohong pada keluargaku di Indonesia, tentang keberadaanku. Gugur di Negara bertikai sebagai sukarelawan tidaklah berlebihan, setidaknya itu menurutku. Biarlah kesedihan ini hanya aku yang menanggungnya. Aku ingin Ayah, Ibu dan sanak keluarga tetap mengenalku sebagai anak yang membanggakan, namun kalau toh nantinya harus tau…aku tidak ingin menyaksikan kesedihan mereka, bukan karena penyakitku, melainkan karena aib yang telah kutorehkan.
Sekali lagi kuhirup udara pagi dalam-dalam. Merasakan nikmatnya mengalir dalam otak. Aneh sekali, sejak bangun tidur tak kurasakan sama sekali rasa nyeri yang biasa menyapa. Baru kutau alasannya ketika dari kejauhan samar-samar kulihat sesosok yang pernah akrab di mimpiku. Namun, kali ini aku tak sanggup melarikan diri.
Semenit kemudian, aku sudah ikut bersamanya, meninggalkan sebongkah jasad dengan foto seorang wanita ditangan. Lutmini. Semoga dia memaafkan dan menyambutku disana……
(Diikutsertakan dalam lomba menulis cerpen remaja / LMCR 2011 yang diadakan PT. ROHTO Laboratories Indonesia)