Rabu, 07 Desember 2011

Bratasena, “Dari Sebuah Tanggal Cantik”

01 Oktober 2005

Awan hitam tampak berarak mendekati Seputih Raman, desa kecil dipedalaman Lampung. Pekat, mengaburkan semua yang terlintas di pinggir jalan, benar saja, tak sampai 10 menit, hujan lebat mengguyur, membasahi apapun yang terlihat. Taaarrrhhhh……untuk kesekian kalinya suara petir membuyarkan lamunanku, lamunan tentang keputusan maha besar yang telah kuambil. Menjejakkan kenangan tentang persinggahan sementara. Meninggalkan sahabat dan keluarga, tercecer lalu menghilang satu persatu.

Alangkah indahnya jika kita bisa memberi pita pada mimpi
Agar bagian yang terindah bisa kita pindahkan
Sampai waktu terjaga dari tidur
Disimpan dengan baik sampai suatu saat datang sebuah keajaiban
Disimpan dengan baik sampai impian terwujud dan pita itu terlepas

Kala itu mimpiku cuma satu, lulus kuliah, aku harus mandiri. Aku tak ingin menjadi beban kakak tertuaku lagi, telah banyak dukungan materiil yang diberikannya. Lebih dari cukup.

Maka, segera kuiyakan saat sejumlah gaji sebagai forelady di sebuah perusahaan budidaya dan pengolahan udang ditawarkan. Dan dalam selang waktu tak sampai seminggu, aku meninggalkan Bogor, menuju sebuah pengharapan baru, segala yang menyangkut masa depan.

*****

Betapa beratnya menghadapi sesuatu yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Seperti menemukan komunitas baru disebuah negeri antah barantah. Tinggal di asrama dengan keterbatasan air bersih, ditemani berbagai jenis nyamuk yang mungkin merasa terusik dengan kehadiranku. Hanya ada TV sebagai hiburan, namun cukup membuat mata sakit saat menontonnya.

Kubunuh waktu dengan membaca buku, berdoa dan sesekali menangis.

01 November 2005

Aku masih bertahan, disini, di Bratasena. Demi orang-orang yang telah meneteskan airmata karena kepergianku.

Sekuat tenaga kupaksa naluri ini untuk menikmati ritme kehidupan. Bersama kerabat baru, kulukiskan setiap tawa yang ada, mencoba mengubur dalam-dalam akan sisa-sisa perihnya perasaan tak nyaman.

Termasuk keharusanku ikut shift malam, dengan jam kerja yang sangat tidak normal, jam 24.00 s/d 08.00 WIB, disaat semua orang sedang masyuk merangkai mimpi, aku harus rela terbangun, terkantuk-kantuk mengawali aktivitas di dinginnya malam dan ruangan ber-AC.

22 November 2005

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.

Entah bagaimana mulanya, aku hanya ingat kami berkenalan, berbincang sejenak kala istirahat. Dan pada tanggal yang cantik ini ikatan kami terjalin.

Pertengahan tahun 2006

Derasnya tekanan dan pengaruh idealis jiwa muda membuatku menjadi pribadi yang berbeda. Dalam ruang proses aku seakan dituntut memiliki hati setebal tembok.

Kehadiran seseorang tak jua mampu membendung keinginanku untuk berontak. Ditahun kedua, aku mulai bergerak. Sejumlah tes kerja di pulau Jawa kujalani, kukorbankan semua yang kumiliki, waktu, uang, juga kesehatan.

Hingga aku lelah dan mulai menyerah. Seperti tak pernah habis rasa teraduk. Bahagia sekejab, lalu kesedihan tergores kembali.

*****

Keteguhanku kian tersayat hari itu, menghadapi situasi yang berprilaku diluar batas kewajaran. Membuatku nyaris nekat angkat koper, kalau saja tak ada segenggam cahaya yang dinyalakannya untukku. Menyadarkanku bahwa inilah kehidupan sebenarnya.

Kembali kutentramkan jiwa, demi percikan api-api pengobar semangat, demi tetesan embun-embun penyegar raga, dan demi lembaran ayat-ayat pemuas tanya, darinya, seseorang yang telah menitipkan hati untukku.

22 November 2011

Keegoisan membutakanku, hanya memikirkan diri sendiri, tak sadar bahwa aku begitu dicintai, tak paham bahwa saat itu, apa yang ada adalah baik untukku menurutNya...

Kini, aku sudah meninggalkan bratasena. Dan aku ingin berterimakasih karena telah mewujudkan mimpiku dengan ’cenderamata’ berharga yang ditanamkannya dalam relung ini, senyum dan tangisan kami lewati bersama, doakan, semoga cinta kami semakin bertambah dan tumbuh hingga maut memisahkan, amin.

*****

Untuk mendapatkan sebuah kebahagiaan terkadang kita harus melewati masa2 sulit terlebih dahulu, jauh dari segala kemudahan yang diinginkan, tapi yakinlah bahwa telah banyak rencana-rencana bahagia yang sudah ditetapkanNya untuk kita...........

Blega, 6 tahun setelah hari di tanggal cantik itu

Kamis, 10 November 2011

Untuk para Wonder Woman

Sebenarnya aku sudah terbiasa menghadapi dan melihat ponakan-ponakan yang sedang rewel. Tapi kali ini rasanya berbeda. Saat tiba di Bogor, aku disambut dengan keadaan dimana dua ponakan mungilku yang hanya berjarak 1,5 tahun sedang tidak sehat. Bukan hanya kondisi mereka yang membuatku trenyuh tapi juga  sangat terharu menyaksikan secara langsung betapa besarnya perjuangan dan pengorbanan seorang ibu.

Tidak berlebihan rasanya kalau kupanggil kakak iparku dengan sebutan wonder woman. Mengorbankan kebersamaan dengan suami yang sedang melanjutkan studi di Jepang, memutuskan kembali ke Indonesia demi keberlangsungan jasmani dan rohani ketiga anaknya.

Setiap saat kusaksikan bagaimana kakak iparku harus melapangkan dada selebar-lebarnya dengan semua perilaku sang anak yang sudah diluar batas kesabaran. Kenikmatannya menyantap makanan rela dirusak ketika si nomor dua ingin pup atau pipis, kenyenyakan beristirahat rela ditukarnya demi menggendong si nomor tiga yang sedang panas dan hanya mau tidur dalam gendongan. Tidak hanya disitu, keikhlasanya juga diuji tatkala si anak pertama tak cukup diperingatkan satu kali untuk belajar disiplin dan teratur.

Senja menjelang, perjuangan belum selesai, tugas sebagai seorang guru sekaligus dokter bermula pada petang itu. Karena sering mengalami sesak saat bernafas, sebelum tidur anak nomer dua terbiasa di pijat kaki dan badannya, semuanya berjalan lancar, hingga entah apa sebabnya si anak nomer tiga menarik tangan sang mama bermaksud ingin diurut juga dengan berceloteh tak henti-henti “dua-dua ma”, maksudnya berdua atau barengan namun tidak sesuai dengan perilakunya yang menguasai semua badan si mama, tentu anak nomer dua tidak terima. Walaupun anak nomer dua telah diberi pengertian dan anak nomer tiga dimarahi, tetap saja  sahut-sahutan tangisan itu terjadi. Kakak iparku hanya ber-istiqhfar. Masalah terselesaikan dengan melanjutkan pijatan pada anak nomer dua dan anak nomer tiga dalam pangkuan. Konsentrasinya juga terbagi dengan pertanyaan-pertanyaan anak pertama yang sedang mengerjakan tugas sekolah.

Aku tertegun menyaksikannya.

Hari ini aku diminta tolong kakak iparku untuk mengantarkan anak nomer dua terapi. Saat tiba di rumah sakit,kulihat keponakan mungilku itu kegerahan dan mengelap keringat. Kutawarkan untuk melepas jilbabnya, dan betapa kagetnya aku ketiga gadis cilik itu menolak dengan sekuat tenaga seolah aku akan membakar jilbabnya. Inilah satu lagi yang membuatku kagum, dari mana anak kecil berumur 3,5 tahun tau jika hendak keluar rumah harus memakai jilbab kalau bukan dari ibunya. Seakan dia paham betul kenapa dia harus melakukannya.

Inilah bukti bahwa seorang ibu rumah tangga adalah seorang wonder woman karena berbagai profesi mampu digelutinya dalam waktu bersamaan, sebagai dokter, guru, perawat, dan juga koki.

Untuk kalimat penutup kali ini, aku ingin berterimakasih pada ibuku tercinta yang telah merawatku hingga aku bisa mempunyai kehidupan berharga dan juga ibu mertuaku (almh) yang telah melahirkan suami yang hebat untukku. Terimakasih, kalian semua adalah wonder woman.

Minggu, 16 Oktober 2011

P e t a s a n

Tarrh….tarhhhh…..Tarhhh…..gemuruh suara petasan memecah keheningan masjid, bersahut-sahutan tanpa henti. Seperti jamaah sholat tarawih lainnya, konsentrasiku buyar seketika, dalam hati aku hanya bisa memohon semoga dosa-dosaku terampuni.
Jarum jam menunjukkan angka 20.48 WIB saat aku menyelesaikan ayat terakhir tadarrus malam ini. Dari kejauhan sayup-sayup kudengar lantunan kitab suci Al-qur’an lewat pengeras suara masjid. Layaknya ramadhan-ramadhan sebelumnya, langit di kompleks ini selalu dipenuhi dengan kalimah penuh makna dari firmanNya. Begitu sendu dan mendayu. Kerinduanku serasa terobati.  Segera kuseka butir-butir bening yang mulai menggenangi ekor mata.
“Assalamualaikum, Ais sudah tidur? Boleh ibu masuk?”
“Ais ga papa?”, sekilas kulihat kecemasan di wajah ibu
“Ais ga papa kok bu, ibu ga usah khawatir”, seperti biasa, ibu hanya tersenyum dan mengelus rambutku lembut, namun itu sudah cukup mampu meredam rasa ketidakikhlasan yang melanda tiba-tiba, selalu mendinginkan bara amarah yang mulai mengamuk, dan juga mengubur penyesalan yang menyergap tak kenal waktu.
***
Pagi ini kuawali hari dengan berat hati. Pikiran tentang anggapan miring para tetangga memenuhi alam sadarku. Semua orang sudah tau,  gosip terbaru kompleks ini. Begitu berartinya setiap kisah tentangku. sampai-sampai tak pernah habis dibahas para ibu-ibu pada momen belanja bersama dipagi hari, tak lupa juga kompor yang disulut oleh si tukang sayur, yang secara tidak langsung didaulat pelanggan-pelanggannya sebagai spy alias mata-mata alias pencari berita, membuat hawa pagi yang seharusnya sejuk menjadi hot, panas sekali. Mereka seakan lupa kalau perbuatannya akan mendatangkan kesia-siaan amal puasa yang sedang dijalani.
Dari balik tirai jendela, kulihat “talk show” sudah dimulai. Aku menghela nafas panjang, mencoba memantapkan diri. Tanpa pikir panjang lagi, aku melangkah mendekati tempat mang Adi, si tukang sayur mangkal. Di kejauhan, tampak beberapa ibu menghentikan obrolannya begitu melihat kedatanganku.
“Assalamualaikum ibu-ibu, mang Adi”, aku menyapa seperti tidak terjadi apa-apa
“Waalaikumussalam, eh…ada neng Ais. Gimana kuliahnya?, jadinya ngelanjut kemana?”, Ibu Asri, tetangga sebelah kanan rumahku menyapa dengan santun
“Alhamdulilah bu, saya dapat beasiswa dari pemerintah jepang untuk melanjutkan kuliah disana, kebetulan awal semester baru dimulai pertengahan september, jadi Ramadhan kali ini bisa full di rumah”
“Fakultas apa neng Ais…”, kembali ibu Asri bertanya, satu-satunya ibu yang antusias mendengar keberhasilan studiku
“Ekonomi & bisnis bu…..”, belum sempat kuselesaikan kata-kataku, tiba-tiba ibu Ratih menimpali dengan sengit
“O pantas…..”
“Maksud bu Ratih ?”
“Maksud ibu pantas di terima di fakultas itu, wong jiwa bisnisnya udah keliatan. Tapi hati-hati lo neng Ais, jangan sampai bisnisnya itu merugikan orang lain, neng Ais kan anaknya imam masjid, berilah teladan yang lebih baik, neng Ais pasti ngertilah maksud ibu, hi..hi…hi….”, sudah kuduga kalimat-kalimat seperti itu pasti akan kudengar juga. Secepat kilat kuredam kekagetanku, kuperhatikan wanita-wanita paruh baya yang masih cekikikan di hadapanku, sembari berkata
“Maksud bu Ratih, karena saya berjualan petasan?, hmmmm”, aku terdiam sejenak sebelum melanjutkan
“Penjual pisau tidak mungkin punya tujuan menyuruh pembelinya untuk bunuh diri, penjual terompet tidak mungkin berniatan agar para pelanggan meniupkannya disaat orang-orang tidur, begitu pula dengan saya, saya tidak mungkin memerintahkan mereka menyalakannya disaat orang lain sedang beribadah. Saat ini saya tidak bisa menjelaskan lebih panjang, yang jelas saya melakukan ini demi memperoleh ridho Allah semata, mudah-mudahan suatu saat mang Adi dan juga ibu-ibu mengerti, saya permisi dulu, assalamualaikum”, tak ada jawaban, semua seakan terbius dengan kata-kataku, mencoba menerka-nerka maknanya, termasuk bu Ratih, tanda tanya besar  seperti memenuhi benaknya. Sedangkan Mang Adi, yang selalu bersemangat ketika ada gosip baru karena bisa dijadikannya sebagai umpan untuk memancing para pembeli hanya menunduk dan manggut-manggut, entah mengerti entah tidak.
***
Belum sempat kami habiskan kolak pisang di mangkok saat buka puasa,  tiba-tiba bu Asri datang dengan tergopoh-gopoh
“Pak haji….pak haji, neng Ais, assalamualaikum…”, aku, bapak dan ibu segera datang menghampiri
“Waalaikum salam bu Asri, ini ada apa, kok maghrib-maghrib kesini?”
“Gawat pak haji, bagaimana ini….Anaknya bu Ratih yang nomer tiga tangannya hampir putus kena petasan, bu Ratih ngamuk-ngamuk di ujung gang, dia marah-marah dan nyumpah-nyumpahin neng Ais”,  aku terperanjat mendengar penjelasan bu Asri, dalam sekejap badanku gemetar dan menggigil, pundakku seperti ditindih batu ratusan kilo, ibu segera menangkap badanku, mengingatkan untuk beristiqhfar, astaqfirullahal adzim. Dalam hati aku merasa sangat heran, kenapa hanya aku yang menjadi tertuduh padahal masih ada beberapa pedagang petasan lain di kompleks ini, belum tentu petasan yang telah menelan korban itu adalah daganganku.
Malam ini bulan tak lagi penuh, hanya sepotong, seperti  kehilangan gairah untuk memancarkan cahayanya. Usai sholat tarawih, bapak memanggilku ke teras rumah, kami duduk bertiga menghadap jalan raya. Tidak ada obrolan, hening, hanya desahan nafas ibu yang terdengar sesekali. Kupandangi paviliun kecil di depan rumah yang dibangun bapak sebagai tempat usaha sampingan sekaligus pengobat kebosanan ibu ketika sendirian, sepi, tidak ada keramaian seperti malam-malam sebelumnya.
“Memang terkadang jiwa manusia bisa tandus jika tidak ada air yang dapat membasahi pikiran yang sedang keruh”,  bapak memecah keheningan sambil menatapku, mataku kembali panas dan berlinang
“Yang Ais pikirkan saat ini adalah bapak dan ibu”
“InsyaAllah kebenaran akan datang nak”
“Amiin”, serempak aku dan bapak mengamini kata-kata ibu
Sejak peristiwa itu, bapak nyaris tidak pernah menjadi imam sholat di masjid lagi, bapak merasa tidak enak hati memimpin ibadah sementara sebagian dari makmum sudah tidak mempercayainya, karena itu bapak mengundurkan diri, tepatnya dipaksa mundur. Namun, entah kenapa keadaan seperti ini lebih membuat hati kami tenang. Tidak ada beban.
***
Gema takbir terdengar dari kejauhan, aku sibuk membantu ibu di dapur, menyiapkan makanan untuk esok hari. Gerakan tangan kami terhenti tatkala mendengar isak tangis dari ruang tamu, kami bergegas menuju arah tangisan. Begitu sampai, kulihat bu Ratih duduk terpekur dilantai bersama Nita, dibelakangnya berdiri Pak Alimuddin, ketua takmir masjid
“Sebelumnya saya minta maaf atas sikap kami kepada pak haji dan keluarga”, pak Alimuddin memulai obrolan, masih dengan iringan isakan dari bu Ratih dan Nita, bapak tidak bereaksi apa-apa. Hanya terdiam.
“Saya sudah mendengar semuanya dari Nita. Karena itu saya mewakili warga disini meminta kesediaan pak haji kembali menjadi imam pada sholat idul fitri besok”, kulihat Bapak tersenyum terharu yang kemudian diikuti dengan sebuah anggukan. Melihatnya seakan membuatku tersadar. Tidak ada yang aku sesali dengan takdir yang sudah ditetapkanNya atas  hidup ini, satupun tidak. Sesungguhnya Engkau telah mengajarkan kepada kami satu lagi ilmu maha berharga di bulan suci ini, sebagai bekal untuk kehidupan selanjutnya.
***
Satu minggu sebelum bulan Ramadhan
Pagi-pagi buta, Nita, kakak kelasku waktu SD datang kerumah, dengan ragu dia mengutarakan maksud dan tujuannya
“Saya mau meminta bantuan pak haji, ibu haji dan Ais. Dua bulan lagi saya butuh uang agak banyak untuk membayar uang semester kuliah, dan juga persiapan adik untuk masuk SMP”, Nita diam sejenak kemudian meneruskan kalimatnya dengan lebih mantap
“Saya bermaksud untuk menitipkan dagangan saya di warung bu haji, mudah-mudahan bisa menambah penghasilan saya”. Tanpa pikir panjang, ibu mengiyakan
“Nita mau nitip apa?”
“Petasan bu….pada bulan puasa petasan sangat laku”, ibu sangat kaget mendengarnya
“Kenapa bukan takjil saja Nita?”
“Saya tidak sempat memasaknya bu, pulang kuliah saya harus bekerja setengah hari di sebuah usaha laundry dekat kampus”. Aku, ibu, dan bapak merudingkannya sebentar. Nita adalah anak sulung bu Ratih, sejak ayahnya meninggal, Nita menjadi tulang punggung keluarga, selama ini mereka hidup dari uang pensiuanan ayahnya yang tidak seberapa, karena itu usaha apapun asalkan halal dia jalani demi mendapatkan tambahan. Dan pertimbangan ini mengalahkan kekuatiran kami terhadap resiko berjualan petasan yang akan dihadapi.  Kami menyetujuinya. Sebelum berpamitan, Nita mengutarakan satu permintaan lagi, dia minta dirahasiakan kalau petasan itu adalah miliknya. Kami sedikit mengerti maksudnya, mengingat bu Ratih yang memiliki sifat gengsi agak berlebihan. Jadilah mulai hari itu, aku sebagai penjual petasan pemula.

(Diikutsertakan dalam Lomba Menulis Cerpen Remaja bertema Ramadhan yang diadakan Annida Online bekerjasama dengan SMG Publishing)

Simalakama Untuk Bapak

Rapat-rapat kalimat itu menggelitik, tikaman kata yang membatin beberapa bulan lalu, jika pilihannya memakan Bapak meninggal, tidak memakan berarti Ibu wafat, dan aku lebih memilih melahap buah itu, hingga habis tak tersisa.
Hatiku benar-benar telah hilang, pergi bersama bayangan keranda yang baru saja melintas. Riuh rendah suara tahlil seakan semakin munusuk dan mengiris-ngiris seisi raga,…aku hanya bisa diam terpaku. Menangispun merasa tak berhak, kemarau seketika menguasai pelupuk mata, kering. Langit sekejap berubah menjadi gelap, segalanya seolah terasa percuma.
*
Sangat berat pada awalnya, aku…seorang remaja laki-laki yang setahun lalu baru saja menggantung seragam putih abu-abu harus berbesar hati menggantikan pekerjaan Ibu rumah tangga, memasak, membersihkan rumah juga merawat Ibu. Satu tahun yang lalu, kesehatan Ibu mulai menurun. Tanpa kami sadari, ternyata Ibu menderita kanker tulang. Serangkaian perawatan medis dilakukan, namun tetap tak kunjung pulih, melainkan kian mengkhawatirkan. Jangankan untuk duduk atau berjalan, bergeser saat tidurpun sudah membuatnya sangat kesakitan.  Beberapa pembantu yang pernah kami pekerjakan berhenti tanpa alasan jelas, tidak ada satupun mampu bertahan lebih dari satu bulan. .
                Tentu aku tidak akan bersumpah serapah seperti itu andai saja Bapak masih waras, tidak menjadi gila begini, ya…aku menyebutnya gila, karena hanya kenikmatan duniawi yang dipikirkannya, alam sadarnya telah dikuasai oleh setan berbagai wujud.
Bapak adalah seorang karyawan perusahaan swasta yang memiliki hobi bisnis sebagai makelar tanah, tak jarang karena bisnisnya itu Bapak sering keluar kota untuk melihat lokasi tanah yang akan dijual. Boleh dibilang, bisnisnya itulah yang menjadi pekerjaan utama, dan pekerjaannya sebagai staf marketing malah menjadi job sampingan. Entah apa yang menjadi alasan Bapak untuk menjelaskan terlalu sering absenannya di kantor. Tak terhitung sudah berapa ratus kali aku dan Ibu mengingatkan, namun Bapak selalu berkilah kalau semua yang dilakukannya demi tambahan biaya hidup dan pengobatan Ibu. Kuputuskan untuk tidak ambil pusing saja dengan tingkahnya itu. Hanya bermain dengan simalakama.
*
Waktu berjalan tertatih, terseok-seok, seakan menertawakan nasibku, dalam keadaan seperti itu aku mulai terbiasa dengan ritme hidup yang baru. Pun ketika lagi-lagi sikap Bapak membuatku makin muak. Setelah hampir satu bulan menghilang, Bapak datang dengan berita yang membuat emosiku teraduk. Perasaanku sudah tidak enak saat Bapak mengajakku berbicara di halaman belakang, dan semua terjawab beberapa menit kemudian. Bapak menikah lagi, tanpa sepengetahuan Ibu.
“Maafkan Bapak Bagas, Bapak harap kamu mengerti atas keputusan Bapak ini”, hatiku panas, kutatap mata Bapak tajam, aku ingin dia membaca arti dari sikapku ini.
“Bapak tau, mungkin kamu masih belum bisa terima, tapi demi tuhan Bapak melakukan ini semata-mata hanya ingin menghindari fitnah, sungguh”.
“Tutup mulut busuk Bapak itu….Bapak benar-benar tidak bisa menjadi teladan bagi aku dan Bagus, apa yang harus aku mengerti?, sekarang aku tanya : apakah Bapak mengerti dan paham dengan penderitaan batin yang selama ini aku dan Bagus rasakan?, apakah Bapak tau kalau selama ini kami merindukan perhatian dan bimbingan seorang Bapak?, dan apakah Bapak sadar kalau aku rela mengorbankan masa remajaku demi mengurus Ibu dan adik, yang seharusnya menjadi tanggung jawab Bapak?, kalau alasan Bapak adalah mencari penghasilan tambahan, sekarang mana? mana uang itu?, sepeserpun kami tidak pernah mencicipi hasil bisnis Bapak itu, selama ini kami hidup dari tabungan pesangon Ibu, apakah Bapak tau itu? tau tidak?”. Suaraku semakin meninggi dan menggelegar, panjang lebar aku muntahkan semua kekecewaan yang selama ini kupendam, Bapak hanya menunduk, kalau saja Bagus tidak menangis dan menarik tanganku, sudah habis orang tua itu aku hajar.
                Peristiwa sore itu merubah segalanya, Bapak hanya sesekali datang kerumah, malam selepas maghrib datang, pagi buta sudah pergi lagi. Atau kadang siang pulang kerja muncul dan kembali menghilang menjelang tengah malam ketika Ibu sudah tertidur. Beruntung Bagus tidak pernah menceritakan pertengkaranku dengan Bapak kala itu pada Ibu. Namun, tetap saja Ibu tak pernah bosan bertanya Bapak pergi kemana, kujawab saja sekenanya sembari berusaha menyembunyikan amarah yang berkecamuk..  
*
Suasanan jalan masih basah kuyup karena hujan semalam, menyatu dengan hembusan angin pagi yang dingin menyergap. Sepertinya pagi ini matahari agak malu-malu memancarkan sinarnya. Berat rasanya meninggalkan Ibu sendirian di rumah seperti ini, tapi hari ini adalah hari pertamaku kerja paruh waktu. Menjadi kasir di salah satu restoran milik saudara kawan lama. Bersyukur  pemilik restoran mengerti dengan statusku sebagai mahasiswa, dan memberi kebebasan untuk menyesuaikan jam masuk kerja, hari ini aku masuk pagi karena kuliah dimulai agak siang..
“Bagas berangkat kerja dulu ya bu”, aku berpamitan, setelah mengelap dan membersihkan badan Ibu
“Mas….”
“Ya….”, aku menoleh sebentar sambil memakai kaos kaki, pandangan Ibu menerawang ke langit-langit, kemudian menatapku lama.
“Tabungan kita masih ada?, cukup tidak untuk beli sepatu baru buat Bagus?”, aku tersenyum sambil mencium tangan Ibu
“InsyaAllah besok Bagas ajak adek beli ya”
*
Tak sampai satu jam, Bagus sudah menenteng sepatu impian, sudah lama dia menginginkannya, tak heran saat kuajak memilih, hanya perlu waktu semenit untuk menggerakkan telunjuk. Kami berjalan beriringan keluar dari toko, langkahku terhenti saat aku merasa tidak ada tanggapan dari Bagus yang dari tadi aku ajak ngobrol, kulirik wajahnya, Astaqfirullah. Bagus menatap sebuah restoran cepat saji hingga tak berkedip. Tanpa pikir panjang, segera kutarik tangannya untuk masuk. Kami makan siang dengan lahap, senang sekali rasanya melihat mata kecil itu berbinar,
“Mas….”
“Hemmm”
“Apakah berdosa jika seorang anak mengingatkan orang tuanya untuk beribadah?”
“Maksud Bagus?”, darahku berdesir mendengar pertanyaan Bagus
“Belakangan ini Bagus sedih sekali melihat Bapak, bukan karena Bapak sudah tidak menyayangi kita lagi, melainkan karena Bapak sudah tidak menyayangi dirinya sendiri. Beberapa kali Bagus melihat Bapak tidak sholat, Bagus pikir waktu itu Bapak lupa, ketika Bagus ingatkan, Bapak malah marah-marah. Katanya, ini urusan Bapak, Bagus masih kecil, ga usah minteri orang tua”, lidahku tiba-tiba membeku, aku tak kuasa menggerakkannya, sepertinya aku telah melewatkan satu episode penting di rumah.
“Satu lagi mas, Bagus juga sering dengar Bapak menelpon temannya dan membicarakan jual beli barang-barang sakti gitu, katanya harganya bisa bermilyar-milyar, apa memang ada barang seperti itu mas?”, aku berusaha berdamai dengan hati. Namun tiba-tiba badanku menggigil. Aku harus berbuat sesuatu, bukan hanya bermain dengan simalakama.
Setiap kali Bapak di rumah, kuusahakan sesering mungkin mengajak Bagus dan Ibu sholat berjamaah dan mengaji bersama, begitu pula dengan tontonan di TV, kuintruksikan Bagus untuk selalu menyetel acara-acara religi. Harapanku cuma satu, semoga Bapak segera menyadari kekhilafannya tanpa diingatkan secara langsung. Terkadang seseorang terpeleset bukan karena bodoh tapi karena dikuasai akalnya saja.
*
Kejadian itu akhirnya kusaksikan langsung, sepuluh menit sebelum sholat Jum’at dimulai, Bapak bergegas meninggalkan rumah setelah menerima telepon, sekilas kudengar sebuah kalimat dari ponsel yang sengaja di loudspeaker, “Barang hebat ini pak Suryo, keris antik, bisa memberikan kekebalan dan kekuatan bagi pemiliknya, konon banyak para pejabat yang mengincar. Saya percayalah pak Suryo pasti bisa menjualnya dengan harga tinggi, jangan khawatir, komisinya juga tinggi pak, hahahaha…”, astaqfirullah, Bapak benar-benar telah lupa, melupakan kalau amal sholat lah yang akan dihisap pertama kali kelak di akhirat, bukan yang lain. Bapak juga seakan tidak mengerti bahwa mempercayai suatu takdir yang bukan berasal dariNya adalah perbuatan syirik, dan itu adalah dosa paling besar.
Seminggu setelah jum’at siang itu, sekuat tenaga aku mencoba mendamaikan amarahku pada Bapak, kuputuskan untuk mengingatkan Bapak melalui sms saja. Tidak pernah ada balasan setiap kali pesan-pesan itu kukirim, aku hanya bisa menebak-nebak reaksi Bapak, mungkin saja Bapak terharu atau mungkin malah sebaliknya. Terkadang ada sedikit kekhawatiran yang melintas tiba-tiba, karena beberapa minggu selanjutnya, Bapak tidak lagi menampakkan wajahnya.
*
Siang ini aku berangkat ke kampus dengan perasaan tidak tenang, sejak tadi malam kesehatan Ibu menurun drastis, aku mengerti, Ibu pasti tidak hanya letih fisik tapi juga pikiran, perubahan pribadi Bapak pun keprihatinan aku dan Bagus. Berkali-kali ibu meminta maaf padaku sambil berurai air mata. Aku mencoba meyakinkan Ibu, kalau semuanya akan baik-baik saja.
Ditengah jam kuliah, menjelang waktu istirahat, ponselku berdering tak karuan, terpampang nomer Bapak disana, tidak seperti biasanya, jangankan menelpon, sms pun tidak pernah. Kuputuskan untuk mengabaikannya. Benar saja….ponselku kembali tergeletak lesu dalam tas, tak ubahnya kehabisan tenaga untuk berteriak lagi.
Selepas sholat ashar, kulirik ponselku, aku masih malas membalas telpon Bapak, aku menduga bahwa isi telpon itu adalah Bapak ingin meminta maaf dan mengaku khilaf. Aku berpikir sejenak, kalau memang seperti itu, kenapa hatiku tidak kunjung tenang, bagaimana jika terjadi sesuatu pada Ibu?. Mungkinkah rangkaian emosiku kala itu, simalakama yang kusumpahkan membalikkannya, seperti kata teman-teman masa kecil dulu, kalau kamu mimpi atau mengharapkan diterima di sekolah favorit, maka yang terjadi adalah kebalikannya, kamu diterima di sekolah pilihan kedua. Begitu juga kalau kamu mimpi menemukan uang, besoknya kamu pasti akan kehilangan. Segera kubuang jauh-jauh pikiran konyol itu dan bergegas memanggil kembali ke ponsel Bapak, lama tidak ada jawaban, membuat perasaanku kian tak karuan, hingga akhirnya terdengar isak tangis Bagus…
“Halo….halo….Bagus….”
“Mas Bagas…Bapak mas….”
*
Ternyata aku terlalu sederhana memandang hidup, bagaimana bisa aku tidak mengetahui penyakit jantung yang diderita Bapak beberapa tahun ini. Dan Bapak berhasil mempermalukanku dengan menjadikan pengorbanannya sebagai tanda permintaan maaf. Bapak menutup usia setelah nekat menyumbangkan darah saat Ibu kritis dan harus di operasi, tak ada yang mengetahui pasti runtutan kejadiannya….aku, Bagus dan juga tetangga-tetanggaku.
Mataku melayang-layang tak tentu arah, pikiranku terempas tak berdaya, terbawa arus entah kemana. Kembali kupandangi amplop coklat besar yang baru saja kuterima dari seorang notaris, dia mengaku ditunjuk Bapak untuk membuat surat wasiat. Sebuah surat tanah, sertifikat rumah, dan sejumlah tabungan bertuliskan atas namaku dan Bagus. Di sinilah aku merasa bahwa waktu tak berpihak padaku. Aku terlambat menyadarinya dan keterlambatan itu menciptakan percik-percik penyesalan yang melanda tak kenal waktu. Ya Allah ya tuhanku, izinkan aku berbicara dari hati nurani yang paling dalam, jangan biarkan batinkan bermain-main sumpah serapah, apalagi dengan simalakama. Kulipat kembali surat Bapak yang mulai basah oleh airmata.

Assalamualaikum wr wb, Bagas dan Bagus anakku,

Sengaja Bapak kumpulkan ini semua hanya untuk kalian berdua, Bapak tidak tau seperti apa dan bagaimana proses meninggalnya Bapak nanti, dengan penyakit Bapak ini, Bapak yakin waktu itu tidak akan lama lagi. Dan Bapak berharap Bapak bisa melihat kalian disaat-saat terakhir itu. Maafkan semua kekhilafan Bapak. Beberapa minggu ini, Bapak sengaja menghilang untuk kembali menata hati, alhamdulilah cahaya itu kembali Bapak temukan. Islam telah menyelamatkan Bapak dari kemungkaran. Dan semua itu berkat kalian, terimakasih anak-anakku.
 Semoga Bapak bisa meninggal dengan cara Khusnul Khotimah, amiin.
Bapak sayang kalian,  juga Ibu.

Penting : Semua tabungan ini, insyaAllah Bapak dapatkan dari jalan yang halal.
Wassalamualaikum wr wb

                                                                                                                                                                Bapak
                                                                                                                                                    Suryo Prabowo

(Diikutsertakan dalam Lomba Menulis Cerpen Remaja Islam yang diadakan DKM Remaja Islam Masjid Al-Muhajjirin Kota Serang )

Sabtu, 15 Oktober 2011

Lutmini Dan Kematianku

Apa menariknya membahas tentang kematian. …..

Kalau saja aku tidak pernah bermimpi kedatangan malaikat pencabut nyawa, tentu tidak akan seekstrim ini membicarakan ajal. Terkadang aku memang terbiasa berimajinasi, tapi tidak untuk kali ini.

Aku lupa tepatnya kapan, yang kusadari adalah aku baru saja menduduki bangku kelas dua SMP. Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba kembali teringat mimpi malam itu, beberapa tahun silam. Begitu nyata, menarikku hanyut didalamnya, tak pernah lekang dimakan waktu bahkan sebaliknya, aku semakin ingin tau apa maksud dari setiap bayangan. Berbeda dengan mimpi-mimpi sebelumnya, lenyap seketika saat sang tuan terbangun dari tidur.

“Memangnya kau tau Malaikat Isroil itu seperti siapa?”, aku terdiam mendengar komentar Dimas ketika kuceritakan tentang mimpiku. Benar juga, bagaimana aku bisa memastikannya, melihat wajahnyapun tidak.

Seperti ada kekuatan mendekap hati, dan perasaan ajaib inilah yang membuatku sangat yakin sosok itu adalah Malaikat pencabut nyawa utusanNya. Kala itu aku berlari tak tentu arah, aku berloncatan kesana kemari, mencoba bersembunyi dari kejaran Isroil, hingga akhirnya aku menemukan sebuah bangunan tinggi mirip puri seorang putri raja, aku menaikinya dengan susah payah. Melihatku terengah-engah mempertahankan hidup, Malaikat itu membalikkan badan, berlalu meninggalkanku.
*
Hari, bulan dan tahun berselang. Kadang mereka merangkak, berjalan terseok-seok, seakan mengejek setiap manusia yang berharap waktu lekas berlalu. Tak jarang pula mereka berlaku layaknya seorang sprinter,  seolah mengutuk siapapun yang terlambat menyadari dosa-dosanya. Meninggi dan menggemuk. 
*
Siapa yang tidak bangga atas diriku. Orang tua, saudara, sanak keluarga bahkan tetangga jauh pun turut menyanjungku, semua kerabat beranak gadis berlomba-lomba menjadikanku menantu, ya….setidaknya untuk saat ini, sebelum mereka tau siapa aku sebenarnya, sebelum mereka menyadari segala kemunafikanku.

Tiada kesempatan kulewati tanpa prestasi. Saat sekolah lanjutan, aku berhasil mengangkat citra sekolah yang tidak pernah merasakan gelar akademik apapun menjadi terpaksa diperhitungkan. Pun ketika menengah atas, kusulap sekolah itu menjadi terkenal seantero negeri. Semuanya berkat otak cerdasku.  Aku bukan hanya jenius di pelajaran, namun juga kreatif dan inisiatif dalam berbagai kegiatan maupun lomba. Dan…..aku bangga dengan semua yang kumiliki.
*
Kini, aku sudah menjadi mahasiswa. Tentu saja di perguruan tinggi ternama.
Metamorfosisku dimulai pada masa ini. Sejenak aku lupa dengan mimpi kematianku.

Senja belumlah sempurna melipat malam, niat hati menyelesaikan tugas kuliah tertunda karena pikiran tak bisa diajak kompromi. Kuputuskan untuk keluar sebentar, sekadar menyegarkan otak. Disebuah pusat perbelanjaan, langkahku terhenti saat menangkap sesosok perempuan yang tidak asing di penglihatanku. Lutmini, seorang kawan SMA, bercengkerama dengan seorang lelaki paruh baya, berpenampilan sangatlah rapi, jelas memperihatkan kedudukan berkelasnya. Kupandangi mereka dari kejauhan. Setelah beberapa menit kemudian, tanpa sengaja Lutmini melihatku dan kami bertatapan, berinteraksi dari mata ke mata. Aku menangkap pesan dari binarnya.

Benar saja, tak butuh waktu lama. Lutmini melepaskan lelaki yang pantas menjadi orangtuanya itu pergi. Mereka berpisah dengan sangat vulgar. Seolah hanya ada mereka di tempat ini. Aku terpejam menghindari tontonan itu, ketika terbuka, aku kaget luar biasa, betapa tidak, kudapati wajah Lutmini didepan mataku persis, sangat dekat, tak sampai sepuluh sentimeter. Lutmini terkekeh melihat ekspresiku. Aku  tersipu malu-malu.

Lutmini banyak berubah, dari gadis sederhana nan lugu menjadi wanita metropolitan. Aku saja sampai pangling melihatnya, andai Lutmini tidak menunjukkan bekas jahitan di pelipis kiri yang berhasil ditutupinya dengan trik model rambut masa kini. Lutmini bercerita banyak hal, termasuk pekerjaan mesumnya. Tuntutan hidup mampu merubah apapun di dunia ini. Lutmini juga banyak bertanya tentang kehidupanku, kuceritakan saja semuanya, tanpa terkecuali. Dalam keadaan seperti itu, Lutmini tidak tampak seperti wanita nakal. Sejujurnya, aku merasa kasihan melihatnya. Kami bertukar nomer ponsel dan berpisah di pelataran parkir.
*
Tergesa-gesa aku meninggalkan laboratorium tatkala Lutmini menelpon meminta bantuanku.

Petang mulai mengintip ketika aku tiba di sebuah alamat yang ditunjukkan Lutmini. Tempat haram berkedok perkampungan religi. Di satu kamar, kudapati Lutmini sudah tak berdaya, sekujur wajah dan tubuhnya lebam, aku tidak menginterogasinya dengan banyak pertanyaan, karena kutau pasti, dia baru saja mengalami kekerasan fisik. Mungkin saja dari salah satu pelanggannya. Aku hanya menawarinya untuk berobat ke rumah sakit. Namun Lutmini menolak, ia hanya minta diantar ke rumahnya.

Kupastikan Lutmini sudah bisa beristirahat ketika aku berpamitan pulang. Dan tidak kuduga sebelumnya, Lutmini melarangku pergi, dia memintaku untuk tetap tinggal dirumahnya. Selamanya. Aku bingung menanggapi keinginannya. Entah kenapa, demi melihat keadaan dan keprihatinannya, kepalaku serasa bergerak sendiri. Ya, aku mengangguk.

Dan disinilah awal kehancuranku dimulai…
Bagiku, Lutmini tak ubahnya ranjau yang siap meledak kapan saja. Ternyata otak encerku tak sanggup menaklukkan bahaya laten yang senantiasa digempurkan Lutmini. Hingga suatu hari, di pagi yang dingin, tembok pertahananku runtuh. Aku mulai mencicipi dosa-dosa itu. Aku berubah menjadi seorang pecundang dan pecandu. Setan telah menguasai jasad ruhku. Setiap ada kemauan dan kesempatan.
*
Aku tetap dibanggakan. Hingga menyandang gelar sarjana. Kupikir inilah masa-masa terakhirku menjadi mentari. Ternyata Tuhan masih memberiku nikmat berlipat. Lagi.

Aku mendapat beasiswa melanjutkan strata dua dari salah satu negara besar di Eropa, dengan mimpi kematian yang masih kusimpan.
*
Diujung pintu kamar, Lutmini menyambutku dengan raut muka penuh misteri. Kuacuhkan saja reaksi itu, karena aku ingin menyampaikan satu kabar bahagia, aku akan ke Eropa. Seperti Ikal dalam laskar pelangi.

Hampir bersamaan aku dan Lutmini membuka obrolan hendak bercerita. Menyaksikan lekuk kerutan didahinya yang tak kunjung hilang, aku mempersilahkannya lebih dulu.
“Aku hamil Den”, Lutmini berbicara singkat, namun cukup membuat badanku limbung, seperti ada benda langit yang tiba-tiba menghantam, disertai kabut tebal yang mengoyak-ngoyak khayalan tentang eropa. Aku tidak bergeming, tak ubahnya batu maling kundang hasil kutukan ibunya. Bagaimana bisa, bukankah seorang wanita seperti Lutmini pastilah sudah paham segala macam cara untuk menangkalnya.

“Aku kecolongan Den”, hanya itu kalimat yang kudengar dari mulut Lutmini

Sulit dibayangkan bagaimana perasaanku saat itu, bayang-bayang senyuman bahagia dari sudut bibir orang-orang yang membanggakan prestasiku.
*
Semakin diingkari, semakin dimengerti. Bahwa jiwaku telah mati, jatuh, lenyap bersama amarah debu, bersama gemuruh angin, juga bersama murka ribuan bunga kamboja. Aku tertunduk melangkahkan kaki, melintasi jalan panjang tak bertepi, apakah mengarah ke surga atau malah sebaliknya, dalam persimpangan aku disambut, bukan oleh malaikat atau para bidadari penghuni surga, melainkan sederatan makhluk aneh bergigi sajam dan bermata bara.

Aku melangkah menuruni tangga kampus, nafasku semakin memburu, darahku seakan mengalir lebih cepat. Sudah beberapa kali kepalaku seperti ini, mencuat-cuat tak karuan, menyebarkan racun kelumpuhan ke organ tubuh lain. Mr. Frank, paramedis medical center kampus merujukku ke St. Anna Maria hospital.

“What's wrong with my head doctor?”, Mrs. Chaterine memandangku sejenak, lalu kembali memeriksa hasil roentgen dengan seksama
“Have doctor frank not say anything about your illness?”, pertanyaan Mrs. Chaterine membuat bulu kudukku berdiri, tidak mungkin tidak ada masalah kalau nada bicaranya seperti itu, aku menggeleng pelan
“You have a disease of brain cancer, stadium four”. Kupegang kepalaku kencang. Otak cerdasku, masih layakkah kau kubanggakan?.
*
Aku terjebak di sudut dunia, di labirin berkabut, sekilas bak diserang segerombolan mahluk berjubah hitam yang dibuang dari langit. Aku kembali teringat pada Lutmini. Kecemasan itu kembali menghinggapi. Tentang betapa besarnya kesalahan yang telah kuperbuat.

“Aku tidak bisa melakukannya Min, maaf”, Lutmini terisak mendengar jawabanku
”Tega sekali kamu Den...”, amarahku kembali menyala, kucengkeram lengan Lutmini
”Ingat ya Mini, ini bukan hanya salahku, tapi kamu juga. Aku tidak mungkin mengorbankan masa depanku demi janin yang tidak jelas siapa bapaknya”
”Ini adalah anakmu Den”
”Sudahlah, aku tidak mau berdebat lagi, kalau kamu mau aku bertanggung jawab, ok....aku antar ke bidan untuk menggugurkannya, atau kamu mau ke dukun beranak saja, sebutkan jumlah yang kamu butuhkan, akan aku berikan”, Lutmini menatapku nanar, tersirat segunung kebencian dimatanya. Aku tidak perduli.

Yang kudengar beberapa bulan kemudian, Lutmini meninggal ketika melahirkan bayinya. Ya….Lutmini mempertahankan janin, yang katanya benih dariku. Dari cerita orangtuaku, keluarga Lutmini sangat terpukul dengan kejadian itu. Bukan saja karena kehilangan putrinya, tapi juga aib yang telah menjadi perbincangan para tetangga.
Aku menangis tersedu,....bagaimana harus kukatakan kalau akulah, putra kebanggaan mereka, yang telah menghamili Lutmini, dan aku jugalah yang secara tidak langsung telah membunuhnya, juga anaknya. Bukan orang lain.
*
Seorang perawat mendorong kursi roda yang kududuki mendekati balkon rumah sakit. Rutinitas setiap pagi setelah aku sarapan. Menikmati sejuknya aroma embun dan nyanyian burung gereja yang sesekali hinggap didepanku. Kadang mereka menatapku sebentar, kemudian kembali terbang menyapa dan berkumpul dengan rekan lainnya. Aku tersenyum getir, membayangkan mungkin saja diantara obrolan mereka ada sepercik kisah tentangku, tentang keibaan mereka padaku.

Masih terngiang jelas petuah dokter Hafeez, ahli syaraf keturunan Indonesia sekaligus pendamping spiritualku selama berada di rumah sakit.
“Percayalah mas Deni, Allah sangat menyayangi setiap hambaNya, sebesar apapun dosa yang telah dibuatnya, asalkan insan tersebut bersungguh-sungguh melakukan taubat”, aku merasa benar-benar bodoh, bagaimana bisa aku tergelincir sejauh ini padahal peringatan itu sudah menyapaku bertahun-tahun yang lalu. Mungkinkah penyakit ini adalah hukuman dari dosa-dosaku dan akibat karena telah mengabaikan mimpi kematian itu?

Kuulangi berkali-kali membaca surat yang kubuat untuk dokter Hafeez. Mudah-mudahan dokter muda itu mengerti kenapa aku mengarang cerita ini. Aku ingin dia berbohong pada keluargaku di Indonesia, tentang keberadaanku. Gugur di Negara bertikai sebagai sukarelawan tidaklah berlebihan, setidaknya itu menurutku. Biarlah kesedihan ini hanya aku yang menanggungnya. Aku ingin Ayah, Ibu dan sanak keluarga tetap mengenalku sebagai anak yang membanggakan, namun kalau toh nantinya harus tau…aku tidak ingin menyaksikan kesedihan mereka, bukan karena penyakitku, melainkan karena aib yang telah kutorehkan.

Sekali lagi kuhirup udara pagi dalam-dalam. Merasakan nikmatnya mengalir dalam otak. Aneh sekali, sejak bangun tidur tak kurasakan sama sekali rasa nyeri yang biasa menyapa. Baru kutau alasannya ketika dari kejauhan samar-samar kulihat sesosok yang pernah akrab di mimpiku. Namun, kali ini aku tak sanggup melarikan diri.

Semenit kemudian, aku sudah ikut bersamanya, meninggalkan sebongkah jasad dengan foto seorang wanita ditangan. Lutmini. Semoga dia memaafkan dan menyambutku disana……

(Diikutsertakan dalam lomba menulis cerpen remaja / LMCR 2011 yang diadakan PT. ROHTO Laboratories Indonesia)

Senin, 03 Oktober 2011

Arti Seorang Adik


Jika ada yang bertanya, apakah aku ingin mengulang masa kecilku?, akan segera kujawab tidak, ya…tidak ada yang istimewa dengan masa kecilku.  Aku terlahir sebagai anak ke empat dari lima bersaudara di sebuah keluarga sederhana.  Kehidupan serba pas-pasan inilah yang senantiasa mewarnai pikiranku, hingga kini. Masih tertata apik dalam kenangan bagaimana aku selalu mendapat jatah baju lungsuran dari kakak perempuan demi menghemat pengeluaran. Dengan dicekoki berbagai dalil, aku dipaksa untuk mengerti. Dan aku mengerti, sangat mengerti. 

Satu lagi, kisah yang kadang membuatku tersenyum perih ketika mengingatnya. Suatu sore, saat umurku belum genap sepuluh tahun, aku sangat ingin makan bakso yang biasa lewat di depan rumah, ibuku mengangguk pertanda menyanggupi, namun tak kusangka, adikku juga merengek meminta. Ibu hanya bisa menatapku nanar, dan lagi lagi aku dipaksa untuk memahami, dan aku sangat memahami.  Pikirku, bukanlah masalah tak jadi makan bakso, karena ternyata adikku masih berbaik hati menyisakan kuahnya, bagiku itu sudah lebih dari cukup. Dengan secentong nasi, aku makan dengan lahap.

Tapi aku sedang tak ingin bercerita tentang ini.
***
Hanya teringat si bungsu…

Kala itu, seperti biasa, jam 21.00 malam, aku bersiap untuk tidur. Malam mulai merangkai mimpi sebelum tiba-tiba aku terbangun dengan megap-megap. Segera kubangunkan Dewi, teman satu kamar kos waktu SMA, kutanyakan apakah dia mendengar suara benda besar jatuh, Dewi menggeleng pelan sembari berkata “mungkin kau mimpi, kawan”.

Aku termenung sejenak….